Selasa, 13 Desember 2011

Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari)

Ekstrem Kanan Langganan Orde Baru
Peristiwa Malari di Senen Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Moertopo dan Peristiwa Malari
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari

Ekstrem Kanan Langganan Orde Baru

Inginnya ekonomi tumbuh, syaratnya stabilitas, caranya represif, alatnya tuduhan ekstrem kanan.

Orde Baru adalah orde yang bertekad melaksanakan pembangunan untuk nantinya menjadi ideologi pembangunan sebagaimana ditulis Adam Scwarz dalam A Nation in Waiting. Pada masa awal orde baru ada dua kubu dalam hal kebijakan strategi pembangunan. Kubu pertama adalah kubu yang menekankan pada pemerataan, dimotori oleh Hatta. Seperti kita ketahui Hatta dengan gagasan koperasinya menitikberatkan pembangunan pada aspek pemerataan.

Yang kedua adalah kubunya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, beserta kawan-kawannya yang lulusan University of California Berkeley, sehingga sementara kalangan pengamat menjulukinya sebagai 'mafia Berkeley'.

Kubu kedua ini sangat mengagungkan pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan dengan harapan nantinya akan terjadi trickle down effect (efek menetes/merembes ke bawah) alias otomatis terjadi pemerataan.

Maka gagasan dari kubu pertama tidak dipakai, kalaupun dipakai hanyalah sebagai 'pelengkap penderita' saja. Gagasan kedua dipakai karena para lulusan Berkeley itu dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto untuk mengobati luka-luka masa Orde Lama. Apalagi menurut Assar Lindbeck pada bukunya, Kritik atas Ekonomi Kiri Baru terbitan LP3ES 1988, saat mereka kuliah di Berkeley yang trendy adalah kecenderungan pemikiran perkembangan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, yang dikritik dengan keras oleh aliran 'Kiri Baru'.

Yang dipakai oleh pemerintah orde baru pada awalnya (dan bahkan sampai sekarang walaupun kadar penekanannya sudah agak sedikit berbeda) adalah gagasan dari kubu kedua. Alasannya, menurut Nurcholish Madjid dalam Politik Pembangunan, "Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan harus kita buat dulu kuenya."

Pemerintah orde baru beralasan bahwa ekonomi negara sangat morat-marit. Inflasi mencapai 600%, utang negara sangat bertumpuk. Untuk itu maka perlu secepatnya diadakan stabilisasi ekonomi dengan tiang penyangga utamanya berupa stabilitas politik. Maka setiap potensi konflik diredam sedemikian rupa secara terus-menerus agar teredam kekuatan laten yang disebut pemerintah orde baru sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan orba berupa: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus peryataan sebagai organisasi terlaraang, dan pelarangan terhadap ajaran Marisme-Leninisme di seluruh wilayah RI.

Terhadap golongan Islam, tindakannya malah lebih banyak lagi. Secara jelas Yudi Latif dalam buku Mencari Islam (Mizan 1990) membeberkan langkah-langkah yang merugikan umat Islam yaitu:

1- Penolakan rehabilitasi Masyumi; 2-Dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri yang mengakibatkan 'marginalisasi' pegawai negeri dari partai Islam; 3-Pemaksaan fusi dengan UU No 3/1973; 4-Terbitnya UU perkawinan 1974 yang merupakan de-islamisasi kaidah-kaidah kemasyrakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam; 5-Terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam tahun 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah; 6-Dilegitimasinya aliran kepercayaan dan P4 melalui Tap MPR No II/1978 yang merupakan usaha pemerintah untuk memperlemah potensi alternatif umat Islam.

Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan sangat khas, yang merupakan hasil penjumlahan dari: (1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa; (2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan; (3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan.; sebagaimana ditulis Eep Saefulloh Fatah dalam Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia.

Otaknya Ali Moertopo
Otak pemberangusan gerakan politik Islam adalah Jenderal Ali Moertopo. Langkah-langkahnya yang cukup ketahuan dan transparan cukup banyak. Penjelasan berikut ini adalah sebagian dari padanya.

Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah 'digarap' atau dibajak oleh J Naro dengan 'diotaki' oleh Jendral Ali Moertopo.

Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim 'digarap' oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Berita pembajakan ini dimasukkan ke dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).

Selanjutnya dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikitpun fakta dan tak ada seorangpun eks Masyumi terlibat di situ.

Belakangan ini barulah ada pengakuan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Kemudian pada sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada tahun 1978, yang dituduh membentuk komando jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Jenderal Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.

Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menampilkan Jenderal Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup. Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Jendral Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.

Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada peristiwa Lapangan Banteng 1982. Ali yang ketika itu menjadi Mentri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Deppen dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan. Ali Moertopo menuduh Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50.

Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satupun anggota PPP atau petisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksipun tidak.

Lanjutannya Benny Moerdani
Pasca 1982 peran Ali Moertopo digantikan oleh Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985 Benny melakukan penggarapan terhadap ummat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto yaitu bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila.

Garapan pertama Benny adalah PII. Organisasi pelajar ini memiliki sejarah harum di masa lalu. Beberapa kadernya menghiasi kepemimpinan umat Islam tahun '90-an.

Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di bawah tanah. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.

Pada tanggal 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka sejak saat itu PII menjadi organisasi ilegal atau organisasi bawah tanah. PII juga dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orde Baru.

'Kakak'-nya PII yaitu HMI juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Dipo 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila.

Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan Kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah 'antek-antek pemerintah' dan 'hilang ke HMI-annya' contohnya adalah Menpora Abdul Gafur.

Terjadilah konflik antara anggota HMI dan alumni HMI. Benih-benih konflik ini semakin bersemai dan terbuka dalam kongres berikut di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap 'akomodatif'.

Melalui berbagai 'lobbying' yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tanjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari 'jalan selamat'. Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam kongresnya di Padang tahun 1986. Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah. Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh garis keras seperti Abdullah Hehamahua dan Eggy Sudjana diberi lampu merah.

Terpilihlah Saleh Khalid sebagai ketua umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekali anggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres. Mereka yang menolak ini membentuk 'HMI Tandingan' berupa HMI MPO dan mencoba 'mengadili' pengurus HMI 'bentukan' pemerintah. Sejak saat itulah muncul 'pengurus tandingan' pada banyak cabang HMI di Indonesia. Sejak saat itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.

Tahun 1984 juga meletus peristiwa Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan dipanasi-panasi oleh penceramah-penceramah yang keras, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini).

Yang menarik adalah peristiwa sesudahnya yaitu kasus 'lembaran putih' yaitu surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandingi oleh penceramah-penceramah yang keras. 'Lembaran putih' ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkap penceramah-penceramah keras itu seperti AM Fatwa, AQ Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardhie, dan lain-lain. Mereka juga dicap sebagai ekstrem kanan. Menurut Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, persidangan ini mirip dagelan.

Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA yang mengakibatkan 200 orang tewas. Di malam Natal dua gereja diledakkan di Malang Jawa Timur. Sebulan kemudian tepat pada tahun baru 1986, 9 Stupa Candi Borobudur diledakkan.

Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pemboman ini antara lain Hussein Al Habsyi, seorang tuna netra. Bagaimana mungkin seorang tuna netra yang berjalan atau berlari sebelum bom meledak saja susah (apalagi di Borobudur yang banyak sekali tangganya), dituduh meledakkan bom. Pelaku pemboman ini juga dicap ekstrem kanan.

Pada tahun 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan 'tegaknya Islam sedunia'. Bulan Mei 1987, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, mereka membunuhi orang Cina yang dijumpai di jalan serta memaksa tutup warung-warung yang buka di siang hari. Pada waktu itu adalah bulan puasa. (Tempo, 18 Februari 1989, hal 26). Mereka juga dicap Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan ekstrem kanan.

Kemudian terjadi peristiwa Lampung. Gerakan ini meletus ke permukaan pada bulan Februari 1989, dengan membunuh beberapa anggota ABRI. Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh 27 korban termasuk Anwar alias Warsidi. Pemerintah menyebut pelaku peristiwa ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan dan ekstrem kanan.

Lantas muncul kasus Daerah Operasi Militer di Aceh dan berubah menjadi arena 'killing field'. Pemerintah menyebut Hasan Tiro dan kawan-kawannya sebagai GPK dan ekstrem kanan.

Mengapa Soeharto mempertahankan orang-orang seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani? Agar Soeharto dianggap pahlawan yang bisa mengerem tindakan Benny dan Ali. Terbukti kemudian umat Islam yang menjadi korban langsung atau tidak langsung sampai sekarang kebencian itu tidak ditujukan kepada Soeharto melainkan kepada Ali Moertopo dan Benny Moerdani, apalagi setelah Soeharto naik haji dan takbiran. (Agung Pribadi)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar